27 Apr 2013

Coba Katakan

Mungkin bagi sebagian orang, mengonversi kalimat hati kedalam lisan itu sulit untuk dilakukan. Kecenderungan memilih untuk mengonversi kedalam bentuk tulisan, tidak divisualisasikan dan tidak dijadikan bahan untuk diaudiokan menjadi suatu hal yang lebih nyaman untuk dilakukan, sepertinya.
 
Terkdang hal seperti itu terjadi pada seseorang. Ketika kesulitan menimpa dirinya, hantaman menerjangan dirinya, tidak pernah dia menginzinkan pita suaranya untuk mengatakan keluh kesahnya. Tidak pernah dia menginizinkan mulutnya untuk menekuk. Hanya tawa riang canda yang dia visualisasikan kepada teman-temannya. 

Menurut saya itu sangat aneh, tapi ya bisa jadi itu hal yang patut dicontoh. karena mungkin prinsipnya cukup diri sendiri saja yang bisa merasakan, jangan melibatkan orang lain. tapi menurut saya juga, itu tidak baik dilakukan. Itu hanya akan menyiksa diri sendiri, yaa kecuali jika memang mereka mempunyai alternatif lain untuk meluapkan perasaannya. Tapi tetap saja itu tidak baik, sangat amat teramat tidak baik sekali!.

Sudah dari jaman kapan taun kan kita diajarkan untuk berinteraksi dengan orang lain, toleransi dengan sesama, saling menghargai, menghormati dan kawan-kawannya. itu terurai lengkap dipelajaran kewarganegaraan waktu SD (aku ingat betul). Sudah dari jaman kapan juga kita mengetahui bahwa kita adalah makhluk sosial, kita tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. hmm dewa sekali sepertinya jika ada orang yang memilih untuk hidup sendiri. kasian. 
 
Mungkin memang benar ya keterlibatan seseorang dalam masalah yang kita hadapi tidak sepantasnya dilakukan, jika memang itu akan memberatkan orang lain. tetapi tanpa sadar kehadiran orang-orang yang peduli terhadap kita akan meringankan beban kita, apalagi jika kita mengkomunikasikannya kepada orang yang tepat.

Pernah suatu ketika, merasakan suatu keadaan tanpa alasan, sang lakrimal tiba-tiba memproduksi lakrima secara berlebih, entah mengapa. mungkin karena itu bagian dari emosi sesaat atau mungkin karena itu bagian dari luapan sang renjana dan hanya sekedar luapan saja, setelah itu, dengan sendirinya produksi normal kembali. Akhir-akhir ini memang sering sekali kejadian seperti itu. 
 
Dulu, tempat luapan hanyalah alat bantu berupa pulpen dan secarik kertas sebagai medium perantara luapan emosi. Awalnya hal itu dirasa yaaa bisa lah ya sebagai metode untuk curhat, tetapi lama lama jadi mikir juga, perlu seseorang yang dapat dijadikan sebagai encoder. 
 
Berbicara dengan kertas hanya akan meluapkan emosi saja, tidak mebuahkan solusi. Menurut buku dasar-dasar komunikasi yang saya baca, komunikasi yang efektif itu ketika pesan yang tersampaikan bisa dipresentasikan dalam bentuk makna yang dapat dimengerti. Apakah secarik kertas dapat menafsirkan makna dari pesan yang disampaikan? tentu tidak.
 
Ketika kita memiliki keinginan untuk mencoba mengkomunikasikan apa yang sebernarnya terjadi pada diri kita, akan muncul timbal balik. Timbal balik inilah yang bisa dijadikan referinsi untuk kita belajar bagaiman harus bersikap dan mengambil keputusan. nah proses belajar untuk bersikap dan mengambil keputusan inilah yang merupakan proses menuju pendewasaan. Jika saja hal itu bisa dipahami, apa yang menjadikan diri kita ragu untuk mengatakan?

Bobot masalah itu tergantung dari bagaimana kita dapat menyikapinya. Jika dirasa sulit untuk disikapi ya mungkin masalah itu akan dirasa berat, tetapi jika dirasa ringan untuk disikapi maka masalah itu akan ringan juga untuk dirasakan :)

Cobalah untuk mengatakan dan mengkomunikasikan apa yang menurut kita pantas untuk disampaikan. Bukan untuk membagikan beban kepada orang lain, justru memberi bentuk pertolongan, karena secara tidak langsung fungsi sebagai saudara yang harus saling membantu akan mudah untuk dilakukan. 

14 Apr 2013

Fyord

Berawal dari sebuah pertemanan biasa. 
----------------------------------------------------------------
Kami dipertemukan sejak kami duduk di bangku sekolah dasar. Sekolah kami berada ditengah-tengah perumahan, tepat dekat lapangan yang luas dengan sawah yang lapang disekitarnya. Dengan tumpukan bebatuan didepannya (sekarang sudah tidak ada) tempat kami bermain dan bertualang. 
Banyak sekali cerita bahagia yang kami karyakan dulu. Karena bagi kami, sekolah itu bukan sekedar tempat kami belajar. Selalu saja ada kegiatan-kegiatan yang kami lakukan. Dan sekarang, semua itu sudah menjadi cerita yang luar biasa bagi kami. 

***
Fyord adalah serangkaian huruf yang menjadi ikatan kuat persahabatan kami. Awal kami memberntuk nama itu, ketika kami lulus dari sekolah dasar. Kami melanjutkan sekolah ditempat yang berbeda-beda. Berawal dari seringnya kami berkumpul untuk sebuah acara reunian, dari sana lah kami mencetuskan sebuah nama itu.

Mungkin sebagian orang bertanya-tanya, mengapa Fyord?

Menurut salah seorang sahabat, fyord itu semacam garis yang mendekatkan danau-danau disekitar laut. Rumah kami sangat berdekatan, jika dilihat dari atas, mungkin bisa digambarkan menjadi sebuah gugusan bintang. Karena itulah kami menamai perkumpulan kami dengan nama Fyord.

Sebenarnya perkumpulan kami bukan perkumpulan yang formal, bukan pula sebuah 'geng', atau pun apalah itu namanya. Kami hanyalah orang-orang yang sederhana yang ditakdirkan bertemu. Kami tidak pernah memberi syarat yang sulit untuk bahagia, karena bagi kami, 'Bahagia itu sederhana'. Hanya dengan membentuk 'lingkaran kebahagiaan', berkumpul bersama, saling berbagi cerita, tawa, riang dan canda. Hal-hal sederhana itulah yang menjadikan kami sangat bahagia. Hal-hal sederhana itulah yang menjadikan ikatan kami sangat kuat.

Sekarang jarak kami terpisah sangat jauh sehingga intensitas kami untuk bertemu sangat kurang. Namun hal ini tidak jadi halangan bagi kami. Justru jarak ini telah menjadikan ikatan kami semakin kuat.
Kami dipisahkan karena kami memiliki tujuan masing-masing untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi. Kami memilih untuk mencari tempat lain dimana kami bisa mengukir karya kami. Sampai suatu saat nanti kami dapat bertemu dengan cerita yang berbeda.


FYORD
                                     

 <--- Andika                                           Aditya--->

<--- Chrisno                                     Faisal --->

<--- Radhitya                                             Ella --->










<--- Fuzi                                                      Indri--->

<--- dini                                      Ashri --->











Itulah kami
Sampai saat ini kami masih bersama
Kami sudah seperti keluarga
Suatu saat nanti, kami akan menceritakan karya-karya kami kepada anak-anak kami :)

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

*Semangat mengukir karya-karya besar , Sahabat :)

13 Apr 2013

Terimakasih Ayah

Judul ini akan menjadi awal postingan blog baruku, setelah sekian lama tidak menulis karena lupa user dan password blog yang lama, oke itu tidak penting sepertinya..

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Menjadi anak pertama yang diijinkan merantau untuk menuntut ilmu adalah hal yang luar biasa menurutku. Walaupun harus diawali dengan sekelumit kontropersi, debat ketat, teguh hantam, cek cok mulut dengan orang tua yang berpikir apakah sanggup sang anak jauh dari lingkaran perlindungan mereka. Tapi hal itu bukan benteng besar, justru itu adalah sebuah seni. Ya wajar saja orang tua berpikir ragu, karena mereka belum memiliki pengalaman ditinggal pergi oleh anaknya. Lama-lama mereka juga terbiasa, dengan jarak jauh , hanya telepon genggam dengan nomor telepon keluarga yang dapat mereka manfaaatkan untuk menyempurkan lingkaran perlindungannya.

tik tok tik tok, 
bunyi itu mengantarkan aku pada sebuah dunia dimana aku seakan ditenggelamkan dalam pikiran masa lalu

Sebagai anak pertama , mungkin wajar jika didikan orangtua lebih ekstrem daripada didikan ke anak kedua ketiga dan sebagainya. ini yang aku rasakan, entah mengapa. Dulu aku begitu takut terhadap orang tua, terutama ayah. Ayahku adalah seorang polisi. Tubuhnya tinggi, badannya kekar, paras wajahnya berkarisma, jalannya tegap bersahaja. Dengan sikap dan sifat kemiliterannya, beliau mendidiku supaya menjadi anak yang tangguh. Beliau selalu menanamkan dan menekankan arti disiplin dalam menjalani hidup.

Jujur,, awalnya aku sempat berpikir aku dididik begitu keras, mendapat nilai kecil dimarahin, main jauh ga dapet izin, ga ngaji beberapa hari dimarahin, dan masih banyak hal-hal yang menjadikan aku berpikir demikian. Hingga aku berpikir lagi, apapun yang aku lakukan nampak salah dimata ayahku. 
Tapi aku tidak pernah menyalahkan hal itu, malah aku merasa telat sadar. Telat menyadari bahwa didikan yang ayah berikan itu memang benar. Kerasa sekali manfaatnyan sekarang.

Sekarang aku kuliah di Bogor, jauh dari pantauan orang tua. Tidak ada kata 'ayo bangun, cari udara segar' saat ayah membangunkan aku, tidak ada 'mimbar' tempat ayah menasihati aku, tidak ada kicauan ketika ayah melihat kamarku berantakan walaupun yang berserakan itu buku, tidak ada .... ya pokonya tidak ada lagi hal-hal yang selalu ayah lakukan disini. Sekarang aku hidup mandiri, ayah sudah memberi kepercayaan kepadaku bahawa aku bisa melakukan semuanya tanpa harus diingatkan.

Seyoginya aku harus membuat orang tua ku bangga, aku harus bisa membuktikan bahwa hasil didikan ayah berhasil.

Terimakasih ayah, jasamu tiada tara, kasih sayang tersiratmu bisa aku rasakan sekarang. {}


*postingan ini telah berahasil membuat lakrimal sang penulis memproduksi lakrimanya